PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK
PENGAMPU PROF. DR. ANWAR ARIFIN
Oleh:
SIMON PATI WEKING
komunikasi politik dalam empat perspektif atau
paradigma dapat merupakan persepsi, citra, pesan, dialog atau tindakan politik.
Hal itu merupakan implikasi dari sifat serbahadir (ubiquitous) dari komunikasi politik.
(Anwar
Arifin)
A.
PARADIGMA
KOMUNIKASI POLITIK
Fenomena
komunikasi tidak berbeda dengan fenomena politik yakni serba hadir artinya
bahwa komunikasi dan politik selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, kapan
dan di mana pun. Sehingga setiap orang bisa menganggap dirinya sebagai ahli
komunikasi dan ahli politik bahkan ahli komunikasi pilitik. Komunikasi dan
politik sebagai serba hadir ini membawa keuntungan sekaligus kesulitan, karena
fenomena komunikasi itu menjadi luas, ganda dan multi makna sehingga menjadi
multi paradigma. Ini kemudian mempersulit proses konseptualisasi komunikasi
politik sebagai sebuah kajian ilmiah. Ini terlihat dari ragamnya definisi
mengenai komunikasi politik.Namun komunkasi politik mengalami perkembangan yang
pesat. Sebagai bidang kajian baru, komuni politik mengalami krisi dan revolusi
yang hingga kini terus berlangsung.
Revolusi
dalam ilmu sosial adalah hal yang biasa, bahkan menurut kajian Thomas Kuhn
(1974), perkembangan dalam ilmu sosial pada umumnya bukanlan terjadi ssecara kumulatif melainkan secara
revolusi. Ini dibuktikan dengan bagaimana dominasi suatu paraadigma dalam ilmu sosial
selalu diganti oleh paradigma lain yang bukan merupakan kelanjutan paradigma
sebelumnya dan menjadi paradigma yang baru, kemudian mengalami krisis yang
mengakibatkan munculnya paradigma baru sehingga terjadi pergantian dominasi
paradigma.
Krisis
dan revoluai dalam ilmu komunikasi, terutama dalam bidang komunikasi politik
(propaganda, agitasi, perang urat saraf dan kampanye) ditandai dengan adanya
kekecewaan terhadap hasil kajian yang bersumber pada paradigma atau perspektif
lama mekanistis. Paradigma ini lahir dari domain ilmu fisika yang telah berjasa
membesarkan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi politik.
Ilmu
komunikasi dapat dijelaskan dari 4 (empat) paradigma atau perspektif,
sebagaimana djelaskan oleh B. Aubrey Fisher (1990). Kendati demikian, masih
banyak lagi perspektif lain yang telah memperkaya telaah komunikasi politik
terutama dari perspektif ilmu politik, sosiologi dan antropologi yang telah
menjadi jati diri komunikasi poltik yang lahir dan dibesarkan dari kajian
lintas disiplin. Berikut gambaran dari 4
paradigma yang dikemukakan oleh Baubrey Fisher.
1.
Paradigma
Mekanistis
Model ini dalam ilmu
komunikasi dan lomunikasi politik paling lama dan paling banyak dianut sampai
sekarang. Untuk itu pengaruhnya sangat besar dengan melahirkan banyak model dan
teori dari paradigma ini. Doktrin mekanisme yang diwarnai oleh cara berpikir
kausal atau determinis sangat mudah dipaham terutama dalam merumuskan
komunikasi sebagai proses. Berdasarkan itu maka komunikasi dikonseptualisasikan
sebagai proses yang mekanistis di antara manusia. Sebagai proses mekanis, dalam komunikasi pesan mengalir melintasi
ruang dan waktu dari satu titi ke titik lainnya secara simultan. Berdasarkan
doktrin mekanistis maka ttik berat kajian pada efek. Mengingat paradigma ini
mudah digunakn maka Dann Nimmo kemudian menjabarkan formula Lasswell yaitu
komunikator politik, pesan politik, media politik, lhalayak politik dan efek
politik.
Berdasarkan pada pesan
adalah obyek forma ilmu komunikasi, maka Bell menyebut bahwa komunikasi politik
adalah pembicaraan tentang politik. Lebih lanjut, Anwar Arifin menambahkan dua
bentuk pembicaraan politik; 1) Pembicaraan tentang konsensus dan 2) Pembicaraan
tentang kerjasama. Studi efek komunikasi politik berkembang sejalan dengan
kekuatiran banyak orang tentang akibat dan dampak media massa (termasuk
globalisasi informasi), terutama media elektronik. Menguatnya studi efek media,
orang kemudian menempatkan media memiliki peran raksasa melalui konsep-konsep
yang dihasilkan dari studi efek media itu.
Pandangan di atas
kemudian memudar setelah muncul kajian psikologi sosial bahwa khalayak bukan
pihak yang pasif melainkan aktif dalam memanfaatkan media massa. Seperti teori
khalayak kepala batu dari Raymond Bauer (1973). Studi ini kemudian mendorong
studi persuasi dan difusi yang berpengaruh dalam studi komunikasi pembangunan
dan komunikasi politik. Doktrin mekanisme juga mengajarkan bahwa selain efek
bisa direkayasa/diramalkan dengan menghilangkan kendala yang mungkin terjadi
melalui perencaaan di awal. Artinya mengetahui masa kini orang akan dapat
meramalkan masa depan. Ini kemudian mendatangkan kritik atasnya bahwa sistem
sosial adalah sistem yang terbuka lalu rekayasa masa depan sulit dilakukan pada
komunikasi politik. Kritik ini kemudian membesar karena model mekanistis
dipandang memandulkan ilmu komunikasi.
Dalam perspektif atau
paradigma psikologis, interaksional bahkan pragmatis, semuanya memiliki
konseptualisasi komunikasi yang berbeda sekali dengan konseptualisasi
komuniksi sebagai proses mekanistis yang
telah dikenal luas. Konsekuensinya bahwa komponen komunikasi yang dikembangkan
Lasswell menjadi tidak penting karena ada konsep yang lebih relevan
2.
Paradigma
Psikologis
Menurut paradigma ini,
komunikas dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengolahan informasi pada
diri individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis oleh psikologi itu
adalah mengadaptasikan konsep S – R
dalam komunikasi.Sehingga eksistensi empiriknya (fokusnya) tidak
terletak dalam saluran sebagaimana paradigma mekanisits melainkan fokus pada
diri individu. Filter konseptualisasi itu dapat digambarkan sebagai sikap,
keyakinan, motif, tanggapan dan persepsi yang dapat menjadi perangkap atau penyerap
dari semua rangsangan yang menyentuh individu. Dengan demikian komunikasi dalam model
psikologi merupakan masukan dan luaran
stimuli yang dikembangkan dan diseleksi dari stimuli yang terdapat di dalam
lingkungan informasi.Karena itu situasi komunikasi ditandai oleh medan stimuli
yang terstruktur dan derajat kesengajaan di pihak komunikasi.
Komponen komunikasi
dalam paradigma ini bukan lagi unsur-unsur yang dikemukakan Lasswell melainkan
stimulus dan respon dengan fokus kajian pada individu. Dalam batas tertetntu orientasi parra penerima
dari model ini merupakan reaksi atas model mekanisits. Dengan fokus pada individu paradigma
psikologi telah memberikan penekanan pada komunikasi intrapersona dibanding
perspektif lainnya.
3.
Paradigma
Interaksional
Paradigma ini memang
baru dan merupakan raksi terhadap kedua model terdahulu. Dalam perspektif ini
menurut Fisher, omkomunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada
masing-masing individu. Karakteristik utama dari perspektif ini adalah penonjolan
nilai individu di atas yang lainnya.. Karena manusia dalam dirinya memiliki
esensi kebudayaan, saling berhubungan serta masyarkat dan buah pikiran. Paradigma
Interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi
dialogis atau atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Ini adalah reaksi
humanitas terhadap mekanisitis yang monolog. Unsur fundamental dalam dalog adalah
melihat yang lain atau memandang pihak yang lain sehingga proses dasar dalam
dialog adalah konsep pengambilan peran. Hal ini memungkinkan individu menemukan
dna mengembangkan diri melalui interkasi sosial karena di dalamnya terkandung
ikatan empatis, identifikasi diri dan saling pengertian.
Komponen komunikasi
dalam model ini sangat berlainan dari model terdahulu yaitu peran, orientasi,
kesearahan, konsep kultural dan adaptasi. Sehingga kosep yang dikemukakan
Lasswell menjadi tidak penting karena titik berat kajian perspektif ini
adalalah tindakan sosial atau tindakan bersama. Dalam komunikasi dialogis,
konsep kultural menempati posisi penting. Dengan demikian komunikasi tidaklah
bebas nilai, sehingga dengan paradigma ini kita dapat membicarakan komunikasi
politik yang khas Indonesia yakni musyawarah dan mufakat. Dengan demikian,
Konteks kultural dan sistem sosial yang menjadi kerangka medan komunikasi telah
membawa komunikasi dan komunikasi politik keluar dari “tempurung mekanisitis”
yang klasik itu.
4.
Paradigma
Pragmatis
Perspektif ini masih
baru dan dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya perspektif ini
memusatkan perhatian pada pragma dan tindakan. Jika dalam model interaksional, tindakan yang
diamati adalah tindakan sosial dalam konteks kultural, maka dalam model ini tindakan yang diamati adalah
tindakan atau perilaku yang berurutan dalam konteks waktu sebuah sistem sosial.
Tindkan tersebut dapat berupa tindakan, ucapan dn perilaku.
Jika dalam paradigma
psikologi, orientasi pada penerima sebagai hasil pengolahan informai secara
internal dalam diri individu, maka dalam perspektif ini orientasinya pada
perilaku komunikator dalam sebuah sis tem sosial. Dalam perspektif ini,
perilaku dan tindak bukan merupakan hasil atau efekdari proses komunikasi,
melainkan tiindak dan perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Dengan
demikian komponen pokok dalam perspektif ini adalah pola interaksi, fase,
siklus, ssitem, struktur dan fungsi. Paradigma ini tidak laagi berbicara
tentang komponen komunikasi menurut Lasswell, melainkan ucapan-ucapan yang
terpola dan pola tindakan atau pola perilaku dalam waktu tertentu.
B.
TEORI
DAN MODEL DASAR KOMUNIKASI POLITIK
Berdasarkan
paradigma komunikasi yang dijelaskan di atas, ada beberapa teori dan model
dasar yang telah lama dikenal dalam komunikasi politik. Teori-teori dasar yang
dapat diaplikasikan dalam komunikasi politik sebagai berikut:
1.
Teori
Jarum Suntik
Paradigma mekanistik
menghasilkan dua asumsi dasara. Pertama; penerima atau khalayak pasif atau
tidak berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya komunikator
dengan mudah mempengaruhi komunikan atau khalayak. Kedua; media massa sangat
perkasa bahkan kekuatannya mendekatai gaib. Artinya bahwa setiap pesan yang
disalurkan oleh media massa dengan mudah mempengaruhi khalayak. Bahkan McLuhan
(1964) menyebutkan bahwa media massa itu sendiri adalah pesan. Konsep khalayak
pasif dan asumsi media sangat perkasa ini melahirkan teori-teori dasar dengan
nama yang berbeda seperti; hypodermic needle
theory (teori jarum hipodermik) dan the
bullet tehory of communication. Wilbru Schramm, adalah ahli yang produktif
mengembangkan teori ini dalam perkembangan ilmu komunikasi. Dadlam kerangka
teori dasar tersebut Schramm memperkenal konsep komunikasi pembangunan.dan
Rogers and Schoemaker mengembangkan komunikasi pembaruan.
Berdasarkan teori
tersebut, komunikator politik selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang
disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa pasti
menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan.
Namun asumsi tersebut
tidak benar seluruhnya karena sangat
tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di saming daya tarik, isi dan
kredibilitas komunikator. Di negara-negara demokrasi, teori jarum suntik dan
teori peluru ini dibangkitkan dan berkembang melalui teori agenda setting. Model ini dimulai dengan asumsi bahwa media
menyaring berita, artikel dan tulisan yang disarikan dan memusatkan perhatian
pada efek afektif dan behavioral, sedangkan teori jarum suntukdan teori peluru
memusatkan perhatian pada aspek kognitif khalayak. Teori Agenda Setting
diperkenalkan oleh Maxwel E. M. Comb dan Donald S. Shaw.
Teori hipodermi, teori
peluru dan teori sbuk transmisi selanjutnya digambarkan dalam bentuk
model-model linear.
2.
Teori
Khalayak Kepala Batu
Gugurnya teori khalayak
pasif dan asumsi media perkasa, munculah asumsi bahwa khalayak aktif dan sangat
berdaya dalam setiap proses komunikasi politik. Bhakan khalayak memiliki daya
tangkap dan daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini
para pakar Ilmu Komunikasi kemudian mengakui, termasuk Wilbrur Schramm
dan Roberts yang mengoreksi teori mereka dan menerima ada teori baru yakni teori khalayak kepala baru. (the obstinate audience theory). Teori
kahalayak kepala batu dikembangkan oleh Raymond Bauer, bahkan sudah
diperkenalkan oleh I. A. Richards tahun 1936. Robert Bauer mengkritik potret
bahwa khalayak sebagai robot yang pasif. Teori khalayak kepala batu menggeser
fokus penelitian dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Mereka
mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan komunikasi.
Maka lahirlah salah satu teori yaitu teori guna dan kepuasan, yang dikembangkan
oleh Elihu Katz, Jat C. Blumer dan Michael Gurevitch (1974). Teori khalayak kepala batu dan tori guna dan
kepuasan dimasukan ke dalam kelompok teori dari perspektif atau paradigma
psikolois dari komunikasi politik
3.
Teori
Empati dan Teori Homofili
Persuasif yang positif
berkaitan dengan teori empati dan teori homofili. Teori empati dikembangkan tidak hanya oleh pakar
ilmu komunikasi melainkan juga pakar psikologi seperti Berlo dan Daniel
Larner. Sedangkan teori homofili
dikembangkan oleh Everet M. Roger dan F. Schoemaker. Secara sederhana, empati dikatakan
sebgai kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain.
Disinilah David K. Berlo memperkenalkan influence
theory. Selanjutnya Daniel Larner melihat empati sebagai kemampuan melihat
diri sendiri dalam situasi dn kondisi orang lain. Sementara homofili dapat
digambarkan sebagai suasana dan kodisi kepribadian dan kodisi fisk dua orang
yang berinteraksi karena memiliki
kesamaan usia, bahasa, pengetahuan, kepentingan, organisasi, partai, agama,
suku bangsa dan palaian. Dalam komunikasi politik homofili dengan mudah dlihat
pada para politikus dan kader politik di Indonesia yaitu memiliki kostum yang
seragam.
Selanjutnya empati dan
homofili dalam komunikasi politik diaplikasikan dalam bentuk ideologi politik
yang sama, doktrin politik dan simbol politik yang sama. Teori-teori tersebut
oleh para pakar digambarkan juga dalam bentuk model yaitu model pertukaran
sosial, model peranan dan model interaktif. Model-model tersebut berbeda dengan
model-model lonear yang dikembangkan dari kelompok partisipatif yang akan
menjadi perhatian dalam komunikasi politik yang demokratis.
4.
Teori
Informasi dan Nonverbal
Para pakar ilmu
komuniksi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam
kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sisitem sosial) telah
digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelsakan paraddigma
pragmatis yang intinya sama yaitu beerindak
adalah berkomunikasi. Artinya semua tindakan politik dapat dipandang
sebagai komuniksi politik yang bersifat non verbal. Informasi memiliki beberapa
pengertian; pertama; informasi
diapahami sama dengan pesan, sebagaimana yang dianut dalam proses komunikasi
mekanistis. Kedua; informasi adalah data yang sudah diolah sebagaimana yang
dipahamii dalam sistem informasi manajemen. Ketiga; informasi adalah segala
sesuatu yang mempunyai ketidakpastian atau mempunyai sejumlah kemungkinan
alternatif, sebagimana yang dianut dalam teori informasi yang sedang dibahas
ini.
Menurut Fisher, teori
informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan
tujuan untuk menghilangkan ketidapastian. Sehingga dapat dikatakan bahwa
informasi politik dalam teori informasi pada hakekatnya adalah komunikasi
politik yang bersifat nonverbal. Dengan demikian menurut teori informasi tidak
ada satu pun tindakan politik para politisi atau kader partai yang bukan
komunikasi politik, tetapi dapat dipandang sebagai komunikasi poltik nonverbal.
Aplikasi teori informasi dalam komunikasi politik dalam beberapa bentuk,
seprti; 1)memasang bendera umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan musik
karena akan ada upacacra partai politik, 2)memakai pakaian seragam karena akan
ada pertetmuan partai dan 3) mempromosikan anggota partai yang memiliki
prestasi.
Akhirnya tindakan
politik dan perilaku politik tidak saja dianalisa sebagai komunikasi politik,
tetapi juga lahir seabgai bidang studi dalam ilmu politik yang dikenal dengan
nama Perilaku Politik.
C.
TEORI MEDIA KOMUNIKASI POLITIK
Teori
dasar yang dikembangkan terdahulu banyaknya berkaitan dengan komunikasi
politik, intrapersona, dan komunikasi politik antarpersona, maka penting untuk
disajikan teori yang berkaitan dengan media komunikasi politik. Ada beberapa
teori media komunikasi politik yang perlu dikenal yaitu; 1) teori Media Kritis,
2) Teori Permainan dan Teori Parasosial, 3) Teori Guna dan Kepuasandan 4) Teori
Lingkar Kebisuan.Pemaparan teori Guna dan Kepuasan dikemukakan juga 3 teori
tentang pertemuan khalayak dengan media massa yaitu; 1) teori perbedaan individu,
2) teori kategori sosial dan 3) teori hubungan sosial. Sedangkan teori agenda
setting dan framing diuraikan dalam paparan tentang teori lingkar kebisuan.
1.
Teori
Media Kritis
Dalam komunikasi poloitik
berkembang juga tori media kritis yang tidak termasuk dalam paradigma yang
disampaiakn di atas atau biasa disebut teori komunikasi kritis, yang berkembang
di Eropa khususnya Jerman. Teori Media Kritis menurut Hollander (1981), adalah merupakan teori media ayng menempatkan
konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari media massa. Dalam
koteks ini dapat diketahui bahwa eksistensi media massa dalam berfungsi, banyak
dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Berangkat dari aspek
kemasyarakatan, pendukung teori media kritis seperti Ardorno dan Horkheimer
(Arifin 1997:52), memandang bahwa media massa sebagai produsen utama dari
kebudayaan massa. Media mssa berusaha agar bukan lagi individu yang menentukan apa saja yang termasuk dalam
kehidupan untuk dikonsumsi. Ini kemudian berkembang menjadi pandangan bahwa
media massa merupakan industri kebudayaan yang dilahirkan dalam budaya
industri.
Berhubungan dengan hal di atas,
Macuse menggunakan istilah masyarakat satu
dimensi untuk menunjukkan bahwa masyarakat yang lahir dari dukungan budaya industri. Aliran
Frankfurt memberikan penekanan kepada masalah media sebagai suatu mekanisme
ampuh yang memilikikemampuan dalam mengarahkan perubahan. Para ahli teori
kritis dan penganut Aliran Frankfurt dapat disebut melakukan upaya yang
mengkombinasikan pandangan serbamedia danpandangan serbamasyarakat, karena
pandangan mereka mengenai kekuasaan media tidak terlepas dari pengaruh
masyarakat sehingga tatatan yang berlaku
tidak perlu diubah.
Teori media kritis bertolak
belakang dengan teori media massa lainnya sepert; teori perseptual danteori
fungsional yang justru kedua teroi itu memberikan tekanan kepada akibat apa yang
dilakukan oleh media massa terhadap orang. Namun teori funshonal kemudian
mengalami sedikit pergeseran yaitu memusatkan kajian kepada pertanyaan tentang
apa yang diperoleh khalayak dari media massa danmengapa hal itu dapat diperoleh.
2.
Teori
Permaianan dan Teori Parasosial
Komunikasi Politik mengenal juga
Teori Permainan karena politik dari perspektif publik disebutnya permainan.
Teori permainan yang dikembangkan oleh William Stephensen yang menjelaskan
bahwa mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan
yang diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, kegembiraan yang
diperoleh orang, dari berbicara dengan tidak megharapkan sesuatu, hiburan
menonot televisi adalah tanpa tujuan atau kepuasan dalam nenton film.
Sebaliknya teori informasi menurut Stephensen, tidak lain dari derita
berkomunikasi, misalnya berkomunikasi
agar lebih berpengetahuan dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.
Teori Permaianan sangat erat dengan
komunikasi politik, karena Menurut Stephensen, bahwa politik itu tidak lain
dari permainan. Permainan membangun citra dan menggairahkan pikiran yang bukan
saja dapat menyenangkan tetapi dapat membuat kejutan. Menurut Edelmann,
sebagian besar dari komunikasi politik adalah estetika terutama komunikasi
politik massa. Para pakar kemudian menggambarkan teori parasosial degan
pandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan
interaksi sosial. Hubungan komunikasi politik dengan khalayak politik hanya
dapat terjadi jika media massa memberikan peluang bagi hubungan parasosial.
3.
Teori
Guna dan Kepuasan
Salah satu teori yang dapat
dimasukan ke dalam kelompk teori khaayak kepala
batu adalah teori guna dan kepuasan. Teori ini menjelaskan bahwa semua
orang yang menaggapi pesan melalui media massa menunjuk kepada kegunaan dan
kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa seperti informasi, hiburan
dan pendidikan. Dalam hal ini media memilikikegunaan dan memenuhi kepuasan
khalayak. Teori ini menjelaskan bahwa media massa berfungsi untuk memenuhi
kepentingan hiburan, hubungan personal dan identitas pribadi.
Teori ini dikembangkan oleh Elihu
Katz, Jay C. Blumer dan Michael Guveritch. Model ini dibangun dengan asumsi
dasar bahwa manusia adalah mahkluk yang sangat rasional dan sangat aktif,
dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Reaksi yang
diberikan khalayak terhadap terpaan media didasarkan pada reaksi terhadap
kegunaan dan kepuasan individu. Dengan teeori ini kajian komunikasi bergeser
dari komunikator kepada khalyak yang dikenal dengan istilah khalayak aktif. Berdasarkan
hal tersebut, De Fleur dan Ball-Rokeach (1975), menyatakan bahwa pertemuan
khakayak dengan media massa dapat didasarkan kepada tiga kerangka tori; 1)
teori perbedaan individu, 2) teori kategori sosial, 3) teori hubugan sosial.
4.
Teori
Lingkar Kebisuan
Salah satu teori yang berkaitan
dengan opini publik adalah teori lingkar kebisuan yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh Elizabeth Noelle-Neuwmann (1873) dari Jerman. Teori ini menjelaskan bahwa
lingkar kebisuan dapat merupakan mayoritas khalayak yang membisu atau berdiam
meskipun setuju dan memberi dukungan terhadap suatu kebijakan publik. Namun
bisa dikalahkan oleh minoritas yang anti kebijakan tersebut karena sering ditampilkan
di media massa. Pada dasarnya teori ini menjelaskan bahwa indvidu dalam
masyarakat pada umumnya takut dan tidak mau terisolasi dari lingkungan
sosialnya karena memang masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengasingkan
orang-orang yang memiliki perilaku menyimpang dari perilaku mayoritas.
Noelle-Neumann juga menjelaskan
bahwa daya tangkal (kepala batu) khaayak bisa dilemahkan oleh lingkar kebisuan
yang juga disebabkan oleh faktor serbaada (ubiquity)
yaitu media massa berada di mana-mana. Karena itu pula sulit dihindari oleh
khalayak, sehingga media massa mampu mendominasi lingkungan informasi.
Teori lingkar kebisuan
Noelle-Neumann menunjukkan bahwa komunikasi politik antarpersona dan media
massa berjalan bersama dalam pembentukan opini publik sebagai salah satu tujuan
komunnikasi politik.