Minggu, 22 November 2015

PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK




PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK
PENGAMPU PROF. DR. ANWAR ARIFIN

Oleh:
SIMON PATI WEKING


komunikasi politik dalam empat perspektif atau paradigma dapat merupakan persepsi, citra, pesan, dialog atau tindakan politik. Hal itu merupakan implikasi dari sifat serbahadir (ubiquitous) dari komunikasi politik.
(Anwar Arifin)

A.      PARADIGMA KOMUNIKASI POLITIK
Fenomena komunikasi tidak berbeda dengan fenomena politik yakni serba hadir artinya bahwa komunikasi dan politik selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, kapan dan di mana pun. Sehingga setiap orang bisa menganggap dirinya sebagai ahli komunikasi dan ahli politik bahkan ahli komunikasi pilitik. Komunikasi dan politik sebagai serba hadir ini membawa keuntungan sekaligus kesulitan, karena fenomena komunikasi itu menjadi luas, ganda dan multi makna sehingga menjadi multi paradigma. Ini kemudian mempersulit proses konseptualisasi komunikasi politik sebagai sebuah kajian ilmiah. Ini terlihat dari ragamnya definisi mengenai komunikasi politik.Namun komunkasi politik mengalami perkembangan yang pesat. Sebagai bidang kajian baru, komuni politik mengalami krisi dan revolusi yang hingga kini terus berlangsung.
Revolusi dalam ilmu sosial adalah hal yang biasa, bahkan menurut kajian Thomas Kuhn (1974), perkembangan dalam ilmu sosial pada umumnya bukanlan  terjadi ssecara kumulatif melainkan secara revolusi. Ini dibuktikan dengan bagaimana dominasi suatu paraadigma dalam ilmu sosial selalu diganti oleh paradigma lain yang bukan merupakan kelanjutan paradigma sebelumnya dan menjadi paradigma yang baru, kemudian mengalami krisis yang mengakibatkan munculnya paradigma baru sehingga terjadi pergantian dominasi paradigma.
Krisis dan revoluai dalam ilmu komunikasi, terutama dalam bidang komunikasi politik (propaganda, agitasi, perang urat saraf dan kampanye) ditandai dengan adanya kekecewaan terhadap hasil kajian yang bersumber pada paradigma atau perspektif lama mekanistis. Paradigma ini lahir dari domain ilmu fisika yang telah berjasa membesarkan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi politik.
Ilmu komunikasi dapat dijelaskan dari 4 (empat) paradigma atau perspektif, sebagaimana djelaskan oleh B. Aubrey Fisher (1990). Kendati demikian, masih banyak lagi perspektif lain yang telah memperkaya telaah komunikasi politik terutama dari perspektif ilmu politik, sosiologi dan antropologi yang telah menjadi jati diri komunikasi poltik yang lahir dan dibesarkan dari kajian lintas disiplin.  Berikut gambaran dari 4 paradigma yang dikemukakan oleh Baubrey Fisher.
1.        Paradigma Mekanistis
Model ini dalam ilmu komunikasi dan lomunikasi politik paling lama dan paling banyak dianut sampai sekarang. Untuk itu pengaruhnya sangat besar dengan melahirkan banyak model dan teori dari paradigma ini. Doktrin mekanisme yang diwarnai oleh cara berpikir kausal atau determinis sangat mudah dipaham terutama dalam merumuskan komunikasi sebagai proses. Berdasarkan itu maka komunikasi dikonseptualisasikan sebagai proses yang mekanistis di antara manusia. Sebagai proses mekanis,  dalam komunikasi pesan mengalir melintasi ruang dan waktu dari satu titi ke titik lainnya secara simultan. Berdasarkan doktrin mekanistis maka ttik berat kajian pada efek. Mengingat paradigma ini mudah digunakn maka Dann Nimmo kemudian menjabarkan formula Lasswell yaitu komunikator politik, pesan politik, media politik, lhalayak politik dan efek politik.
Berdasarkan pada pesan adalah obyek forma ilmu komunikasi, maka Bell menyebut bahwa komunikasi politik adalah pembicaraan tentang politik. Lebih lanjut, Anwar Arifin menambahkan dua bentuk pembicaraan politik; 1) Pembicaraan tentang konsensus dan 2) Pembicaraan tentang kerjasama. Studi efek komunikasi politik berkembang sejalan dengan kekuatiran banyak orang tentang akibat dan dampak media massa (termasuk globalisasi informasi), terutama media elektronik. Menguatnya studi efek media, orang kemudian menempatkan media memiliki peran raksasa melalui konsep-konsep yang dihasilkan dari studi efek media itu.
Pandangan di atas kemudian memudar setelah muncul kajian psikologi sosial bahwa khalayak bukan pihak yang pasif melainkan aktif dalam memanfaatkan media massa. Seperti teori khalayak kepala batu dari Raymond Bauer (1973). Studi ini kemudian mendorong studi persuasi dan difusi yang berpengaruh dalam studi komunikasi pembangunan dan komunikasi politik. Doktrin mekanisme juga mengajarkan bahwa selain efek bisa direkayasa/diramalkan dengan menghilangkan kendala yang mungkin terjadi melalui perencaaan di awal. Artinya mengetahui masa kini orang akan dapat meramalkan masa depan. Ini kemudian mendatangkan kritik atasnya bahwa sistem sosial adalah sistem yang terbuka lalu rekayasa masa depan sulit dilakukan pada komunikasi politik. Kritik ini kemudian membesar karena model mekanistis dipandang memandulkan ilmu komunikasi.
Dalam perspektif atau paradigma psikologis, interaksional bahkan pragmatis, semuanya memiliki konseptualisasi komunikasi yang berbeda sekali dengan konseptualisasi komuniksi  sebagai proses mekanistis yang telah dikenal luas. Konsekuensinya bahwa komponen komunikasi yang dikembangkan Lasswell menjadi tidak penting karena ada konsep yang lebih relevan

2.        Paradigma Psikologis
Menurut paradigma ini, komunikas dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengolahan informasi pada diri individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis oleh psikologi itu adalah mengadaptasikan konsep S – R  dalam komunikasi.Sehingga eksistensi empiriknya (fokusnya) tidak terletak dalam saluran sebagaimana paradigma mekanisits melainkan fokus pada diri individu. Filter konseptualisasi itu dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, tanggapan dan persepsi yang dapat menjadi perangkap atau penyerap dari semua rangsangan yang menyentuh individu.  Dengan demikian komunikasi dalam model psikologi  merupakan masukan dan luaran stimuli yang dikembangkan dan diseleksi dari stimuli yang terdapat di dalam lingkungan informasi.Karena itu situasi komunikasi ditandai oleh medan stimuli yang terstruktur dan derajat kesengajaan di pihak komunikasi.
Komponen komunikasi dalam paradigma ini bukan lagi unsur-unsur yang dikemukakan Lasswell melainkan stimulus dan respon dengan fokus kajian pada individu.  Dalam batas tertetntu orientasi parra penerima dari model ini merupakan reaksi atas model mekanisits.  Dengan fokus pada individu paradigma psikologi telah memberikan penekanan pada komunikasi intrapersona dibanding perspektif lainnya.

3.        Paradigma Interaksional
Paradigma ini memang baru dan merupakan raksi terhadap kedua model terdahulu. Dalam perspektif ini menurut Fisher, omkomunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada masing-masing individu. Karakteristik utama dari perspektif ini adalah penonjolan nilai individu di atas yang lainnya.. Karena manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan serta masyarkat dan buah pikiran. Paradigma Interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis atau atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Ini adalah reaksi humanitas terhadap mekanisitis yang monolog. Unsur fundamental dalam dalog adalah melihat yang lain atau memandang pihak yang lain sehingga proses dasar dalam dialog adalah konsep pengambilan peran. Hal ini memungkinkan individu menemukan dna mengembangkan diri melalui interkasi sosial karena di dalamnya terkandung ikatan empatis, identifikasi diri dan saling pengertian.
Komponen komunikasi dalam model ini sangat berlainan dari model terdahulu yaitu peran, orientasi, kesearahan, konsep kultural dan adaptasi. Sehingga kosep yang dikemukakan Lasswell menjadi tidak penting karena titik berat kajian perspektif ini adalalah tindakan sosial atau tindakan bersama. Dalam komunikasi dialogis, konsep kultural menempati posisi penting. Dengan demikian komunikasi tidaklah bebas nilai, sehingga dengan paradigma ini kita dapat membicarakan komunikasi politik yang khas Indonesia yakni musyawarah dan mufakat. Dengan demikian, Konteks kultural dan sistem sosial yang menjadi kerangka medan komunikasi telah membawa komunikasi dan komunikasi politik keluar dari “tempurung mekanisitis” yang klasik itu.

4.        Paradigma Pragmatis
Perspektif ini masih baru dan dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya perspektif ini memusatkan perhatian pada pragma dan tindakan.  Jika dalam model interaksional, tindakan yang diamati adalah tindakan sosial dalam konteks kultural, maka   dalam model ini tindakan yang diamati adalah tindakan atau perilaku yang berurutan dalam konteks waktu sebuah sistem sosial. Tindkan tersebut dapat berupa tindakan, ucapan dn perilaku.
Jika dalam paradigma psikologi, orientasi pada penerima sebagai hasil pengolahan informai secara internal dalam diri individu, maka dalam perspektif ini orientasinya pada perilaku komunikator dalam sebuah sis tem sosial. Dalam perspektif ini, perilaku dan tindak bukan merupakan hasil atau efekdari proses komunikasi, melainkan tiindak dan perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Dengan demikian komponen pokok dalam perspektif ini adalah pola interaksi, fase, siklus, ssitem, struktur dan fungsi. Paradigma ini tidak laagi berbicara tentang komponen komunikasi menurut Lasswell, melainkan ucapan-ucapan yang terpola dan pola tindakan atau pola perilaku dalam waktu tertentu.

B.       TEORI DAN MODEL DASAR KOMUNIKASI POLITIK
Berdasarkan paradigma komunikasi yang dijelaskan di atas, ada beberapa teori dan model dasar yang telah lama dikenal dalam komunikasi politik. Teori-teori dasar yang dapat diaplikasikan dalam komunikasi politik sebagai berikut:
1.        Teori Jarum Suntik
Paradigma mekanistik menghasilkan dua asumsi dasara. Pertama; penerima atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya komunikator dengan mudah mempengaruhi komunikan atau khalayak. Kedua; media massa sangat perkasa bahkan kekuatannya mendekatai gaib. Artinya bahwa setiap pesan yang disalurkan oleh media massa dengan mudah mempengaruhi khalayak. Bahkan McLuhan (1964) menyebutkan bahwa media massa itu sendiri adalah pesan. Konsep khalayak pasif dan asumsi media sangat perkasa ini melahirkan teori-teori dasar dengan nama yang berbeda seperti; hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik) dan the bullet tehory of communication. Wilbru Schramm, adalah ahli yang produktif mengembangkan teori ini dalam perkembangan ilmu komunikasi. Dadlam kerangka teori dasar tersebut Schramm memperkenal konsep komunikasi pembangunan.dan Rogers and Schoemaker mengembangkan komunikasi pembaruan.
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa pasti menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan.
Namun asumsi tersebut tidak benar seluruhnya  karena sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di saming daya tarik, isi dan kredibilitas komunikator. Di negara-negara demokrasi, teori jarum suntik dan teori peluru ini dibangkitkan dan berkembang melalui teori agenda setting. Model ini dimulai dengan asumsi bahwa media menyaring berita, artikel dan tulisan yang disarikan dan memusatkan perhatian pada efek afektif dan behavioral, sedangkan teori jarum suntukdan teori peluru memusatkan perhatian pada aspek kognitif khalayak. Teori Agenda Setting diperkenalkan oleh Maxwel E. M. Comb dan Donald S. Shaw.
Teori hipodermi, teori peluru dan teori sbuk transmisi selanjutnya digambarkan dalam bentuk model-model linear.

2.        Teori Khalayak Kepala Batu
Gugurnya teori khalayak pasif dan asumsi media perkasa, munculah asumsi bahwa khalayak aktif dan sangat berdaya dalam setiap proses komunikasi politik. Bhakan khalayak memiliki daya tangkap dan daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya.  Dalam hal ini  para pakar Ilmu Komunikasi kemudian mengakui, termasuk Wilbrur Schramm dan Roberts yang mengoreksi teori mereka dan menerima ada teori baru yakni teori khalayak kepala baru. (the obstinate audience theory). Teori kahalayak kepala batu dikembangkan oleh Raymond Bauer, bahkan sudah diperkenalkan oleh I. A. Richards tahun 1936. Robert Bauer mengkritik potret bahwa khalayak sebagai robot yang pasif. Teori khalayak kepala batu menggeser fokus penelitian dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan komunikasi. Maka lahirlah salah satu teori yaitu teori guna dan kepuasan, yang dikembangkan oleh Elihu Katz, Jat C. Blumer dan Michael Gurevitch (1974).  Teori khalayak kepala batu dan tori guna dan kepuasan dimasukan ke dalam kelompok teori dari perspektif atau paradigma psikolois dari komunikasi politik

3.        Teori Empati dan Teori Homofili
Persuasif yang positif berkaitan dengan teori empati dan teori homofili. Teori  empati dikembangkan tidak hanya oleh pakar ilmu komunikasi melainkan juga pakar psikologi seperti Berlo dan Daniel Larner.  Sedangkan teori homofili dikembangkan oleh Everet M. Roger dan F. Schoemaker. Secara sederhana, empati dikatakan sebgai kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Disinilah David K. Berlo memperkenalkan influence theory. Selanjutnya Daniel Larner melihat empati sebagai kemampuan melihat diri sendiri dalam situasi dn kondisi orang lain. Sementara homofili dapat digambarkan sebagai suasana dan kodisi kepribadian dan kodisi fisk dua orang yang berinteraksi  karena memiliki kesamaan usia, bahasa, pengetahuan, kepentingan, organisasi, partai, agama, suku bangsa dan palaian. Dalam komunikasi politik homofili dengan mudah dlihat pada para politikus dan kader politik di Indonesia yaitu memiliki kostum yang seragam.
Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diaplikasikan dalam bentuk ideologi politik yang sama, doktrin politik dan simbol politik yang sama. Teori-teori tersebut oleh para pakar digambarkan juga dalam bentuk model yaitu model pertukaran sosial, model peranan dan model interaktif. Model-model tersebut berbeda dengan model-model lonear yang dikembangkan dari kelompok partisipatif yang akan menjadi perhatian dalam komunikasi politik yang demokratis.  

4.        Teori Informasi dan Nonverbal
Para pakar ilmu komuniksi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sisitem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelsakan paraddigma pragmatis yang intinya sama yaitu beerindak adalah berkomunikasi. Artinya semua tindakan politik dapat dipandang sebagai komuniksi politik yang bersifat non verbal. Informasi memiliki beberapa pengertian; pertama; informasi diapahami sama dengan pesan, sebagaimana yang dianut dalam proses komunikasi mekanistis. Kedua; informasi adalah data yang sudah diolah sebagaimana yang dipahamii dalam sistem informasi manajemen. Ketiga; informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian atau mempunyai sejumlah kemungkinan alternatif, sebagimana yang dianut dalam teori informasi yang sedang dibahas ini.
Menurut Fisher, teori informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan tujuan untuk menghilangkan ketidapastian. Sehingga dapat dikatakan bahwa informasi politik dalam teori informasi pada hakekatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal. Dengan demikian menurut teori informasi tidak ada satu pun tindakan politik para politisi atau kader partai yang bukan komunikasi politik, tetapi dapat dipandang sebagai komunikasi poltik nonverbal. Aplikasi teori informasi dalam komunikasi politik dalam beberapa bentuk, seprti; 1)memasang bendera umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan musik karena akan ada upacacra partai politik, 2)memakai pakaian seragam karena akan ada pertetmuan partai dan 3) mempromosikan anggota partai yang memiliki prestasi.
Akhirnya tindakan politik dan perilaku politik tidak saja dianalisa sebagai komunikasi politik, tetapi juga lahir seabgai bidang studi dalam ilmu politik yang dikenal dengan nama Perilaku Politik.

C. TEORI MEDIA KOMUNIKASI POLITIK
Teori dasar yang dikembangkan terdahulu banyaknya berkaitan dengan komunikasi politik, intrapersona, dan komunikasi politik antarpersona, maka penting untuk disajikan teori yang berkaitan dengan media komunikasi politik. Ada beberapa teori media komunikasi politik yang perlu dikenal yaitu; 1) teori Media Kritis, 2) Teori Permainan dan Teori Parasosial, 3) Teori Guna dan Kepuasandan 4) Teori Lingkar Kebisuan.Pemaparan teori Guna dan Kepuasan dikemukakan juga 3 teori tentang pertemuan khalayak dengan media massa yaitu; 1) teori perbedaan individu, 2) teori kategori sosial dan 3) teori hubungan sosial. Sedangkan teori agenda setting dan framing diuraikan dalam paparan tentang teori lingkar kebisuan.
1.        Teori Media Kritis
Dalam komunikasi poloitik berkembang juga tori media kritis yang tidak termasuk dalam paradigma yang disampaiakn di atas atau biasa disebut teori komunikasi kritis, yang berkembang di Eropa khususnya Jerman. Teori Media Kritis menurut Hollander (1981),  adalah merupakan teori media ayng menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari media massa. Dalam koteks ini dapat diketahui bahwa eksistensi media massa dalam berfungsi, banyak dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Berangkat dari aspek kemasyarakatan, pendukung teori media kritis seperti Ardorno dan Horkheimer (Arifin 1997:52), memandang bahwa media massa sebagai produsen utama dari kebudayaan massa. Media mssa berusaha agar bukan lagi individu  yang menentukan apa saja yang termasuk dalam kehidupan untuk dikonsumsi. Ini kemudian berkembang menjadi pandangan bahwa media massa merupakan industri kebudayaan yang dilahirkan dalam budaya industri.
Berhubungan dengan hal di atas, Macuse menggunakan istilah masyarakat satu dimensi untuk menunjukkan bahwa masyarakat yang  lahir dari dukungan budaya industri. Aliran Frankfurt memberikan penekanan kepada masalah media sebagai suatu mekanisme ampuh yang memilikikemampuan dalam mengarahkan perubahan. Para ahli teori kritis dan penganut Aliran Frankfurt dapat disebut melakukan upaya yang mengkombinasikan pandangan serbamedia danpandangan serbamasyarakat, karena pandangan mereka mengenai kekuasaan media tidak terlepas dari pengaruh masyarakat sehingga tatatan  yang berlaku tidak perlu diubah.
Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa lainnya sepert; teori perseptual danteori fungsional yang justru kedua teroi itu memberikan tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media massa terhadap orang. Namun teori funshonal kemudian mengalami sedikit pergeseran yaitu memusatkan kajian kepada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa danmengapa hal itu dapat diperoleh.


2.        Teori Permaianan dan Teori Parasosial
Komunikasi Politik mengenal juga Teori Permainan karena politik dari perspektif publik disebutnya permainan. Teori permainan yang dikembangkan oleh William Stephensen yang menjelaskan bahwa mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan yang diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, kegembiraan yang diperoleh orang, dari berbicara dengan tidak megharapkan sesuatu, hiburan menonot televisi adalah tanpa tujuan atau kepuasan dalam nenton film. Sebaliknya teori informasi menurut Stephensen, tidak lain dari derita berkomunikasi, misalnya berkomunikasi  agar lebih berpengetahuan dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.
Teori Permaianan sangat erat dengan komunikasi politik, karena Menurut Stephensen, bahwa politik itu tidak lain dari permainan. Permainan membangun citra dan menggairahkan pikiran yang bukan saja dapat menyenangkan tetapi dapat membuat kejutan. Menurut Edelmann, sebagian besar dari komunikasi politik adalah estetika terutama komunikasi politik massa. Para pakar kemudian menggambarkan teori parasosial degan pandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hubungan komunikasi politik dengan khalayak politik hanya dapat terjadi  jika media massa  memberikan peluang bagi hubungan parasosial.

3.        Teori Guna dan Kepuasan
Salah satu teori yang dapat dimasukan ke dalam kelompk teori khaayak kepala  batu adalah teori guna dan kepuasan. Teori ini menjelaskan bahwa semua orang yang menaggapi pesan melalui media massa menunjuk kepada kegunaan dan kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa seperti informasi, hiburan dan pendidikan. Dalam hal ini media memilikikegunaan dan memenuhi kepuasan khalayak. Teori ini menjelaskan bahwa media massa berfungsi untuk memenuhi kepentingan hiburan, hubungan personal dan identitas pribadi.
Teori ini dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay C. Blumer dan Michael Guveritch. Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah mahkluk yang sangat rasional dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Reaksi yang diberikan khalayak terhadap terpaan media didasarkan pada reaksi terhadap kegunaan dan kepuasan individu. Dengan teeori ini kajian komunikasi bergeser dari komunikator kepada khalyak yang dikenal dengan istilah khalayak aktif. Berdasarkan hal tersebut, De Fleur dan Ball-Rokeach (1975), menyatakan bahwa pertemuan khakayak dengan media massa dapat didasarkan kepada tiga kerangka tori; 1) teori perbedaan individu, 2) teori kategori sosial, 3) teori hubugan sosial.

4.        Teori Lingkar Kebisuan
Salah satu teori yang berkaitan dengan opini publik adalah teori lingkar kebisuan yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Elizabeth Noelle-Neuwmann (1873)  dari Jerman. Teori ini menjelaskan bahwa lingkar kebisuan dapat merupakan mayoritas khalayak yang membisu atau berdiam meskipun setuju dan memberi dukungan terhadap suatu kebijakan publik. Namun bisa dikalahkan oleh minoritas yang anti kebijakan tersebut karena sering ditampilkan di media massa. Pada dasarnya teori ini menjelaskan bahwa indvidu dalam masyarakat pada umumnya takut dan tidak mau terisolasi dari lingkungan sosialnya karena memang masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengasingkan orang-orang yang memiliki perilaku menyimpang dari perilaku mayoritas.
Noelle-Neumann juga menjelaskan bahwa daya tangkal (kepala batu) khaayak bisa dilemahkan oleh lingkar kebisuan yang juga disebabkan oleh faktor serbaada (ubiquity) yaitu media massa berada di mana-mana. Karena itu pula sulit dihindari oleh khalayak, sehingga media massa mampu mendominasi lingkungan informasi.
Teori lingkar kebisuan Noelle-Neumann menunjukkan bahwa komunikasi politik antarpersona dan media massa berjalan bersama dalam pembentukan opini publik sebagai salah satu tujuan komunnikasi politik.